CIREBON, (etnologimedia.id).- Berbicara soal peninggalan sejarah di Cirebon seakan tidak pernah habis jika terus digali dan dipelajari. Terutama yang sifatnya fisik maupun rohaniah sepeninggalan kemahsyuran para wali sanga penyebar agama islam di bumi Nusantara, termasuk Cirebon yakni oleh Sunan Gunung Jati.
Khususnya, bangunan yang bersifat religiusitas seperti halnya masjid tempat peribadatan umat muslim yang kini masih megah berdiri. Salah satunya Masjid Al-Karomah di Desa/Kecamatan Depok, Kabupaten Cirebon.
Oleh karenanya, siapa saja yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Masjid Al-Karomah atau yang biasa disebut Masjid Kramat Depok akan berimajinasi ke zaman sebelumnya.
Bahkan, tak jauh akan tertuju pada masjid-masjid tua lainnya di Cirebon. Seperti Masjid Merah Panjunan dan Masjid Agung Sang Cipta Rasa.Karena dari sisi arsitektur dan ornamen bangunan Masjid Kramat Depok tampak sangat mirip dengan kedua Masjid tersebut.
Marbot Masjid Al-Karomah, Hasyim (56 tahun), meyakini bahwa masjid kebanggaan masyarakat Desa Depok tersebut didirikan pada era yang sama dengan Masjid Merah Panjunan ataupun Masjid Sang Cipta Rasa Kota Cirebon.
Ia menyebut, usia masjid tersebut sangat tua sekali dan diyakini dibangun oleh para Wali. Karena itu, pihak pengelola masjid tersebut tetap mempertahankan warna merah pada batanya sekarang. “Bangunan utama yang masih asli adalah bagian paling depan,” kata Hasyim.
Sedangkan beberapa ruangan lainnya merupakan ruangan tambahan setelah ada perluasan. Sehingga, saat ini totalnya ada empat ruangan utama. “Setelah ada penambahan dan perluasan, sekarang totalnya menjadi ada empat ruangan,” kata dia.
Dijelaskan Hasyim, keempat ruangan itu yakni ruangan asli yang berada paling depan, kemudian ruangan kedua berada persis di belakang ruang pertama dan masih masuk bagian dalam masjid. Kemudian ruangan ketiga adalah teras masjid dan ruangan keempat adalah pendopo tempat istirahat atau tempat jamaah ber-iktikaf.
Masih menurut Hasyim, di dalam masjid ini juga terdapat satu yang dulu digunakan sebagai tempat rapat atau musyawarahnya para Wali. Tempat tersebut, dahulu disebut padepokan.
Dikatakannya, Masjid Al-Karomah punya banyak sebutan lainnya mulai dari Masjid Gantung, Masjid Merah, dan Masjid Ngapung. “Masjid ini berdiri sekitar abad 13an. Dulu Desa Depok ini dikenal sebagai salah satu desa yang banyak syekh-nya,” ujarnya.
Disebut Masjid Ngapung atau Masjid Gantung, lanjut dia, karena posisi bagian bawah pengimaman tergerus air sungai Jamblang.
Hal itu karena letak masjid ini berada di pinggir sungai Jamblang. Namun, meski tergerus air tapi tempat pengimamannya tidak longsor atau amblas terbawa arus air.
“Pada masa pandemi ini justru banyak jemaah yang berkunjung. Bahkan, kalau Salat Jumat sampai membludak ke areal parkir. Kemudian kegiatan-kegiatan keagamaan di sini ada saja, anak-anak ngaji juga ada. Kalau malam jumat tahlil sampai menjelang subuh, apalagi kalau Jumat Kliwon, jemaahnya lebih dari 100orang. Setiap malam Selasa juga ada tahlil Syekh Maujud dan acara bulanan juga ada semacam sholawat nariyah dan lainnya,” paparnya.
Sementara, dilansir dari Situs Sejarah Cirebon disebutkan, pembangunan masjid tersebut tidak diketahui pasti. Hal itu dikarenakan tidak adanya Candra Sangkala pada masjid.
Hanya saja, Pemerintah Kabupaten Cirebon memperkirakan masjid tersebut didirikan sejak abad ke-14 atau ke-15 Masehi awal.
Dalam buku Mengenal Lebih Dekat 161 Situs di Kabupaten Cirebon yang ada di kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Cirebon, dijelaskan, Masjid Al-Karomah Depok merupakan masjid peninggalan atau masjid yang didirikan para wali.
Hal itu ditandai dengan adanya “tatal” yang terdapat di atas saka (tiang-tiang) masjid, dan sebuah lumpang berlubang sebelas peninggalan dari Pangeran Panjunan (dahulunya digunakan untuk membuat terasi) dan sampai sekarang keberadaan lumpang tersebut masih ada.
Masih misteri
Sama halnya dengan tahun pendiriannya, tokoh pendiri Masjid Kramat Depok-pun masih misteri. Hal tersebut karena ada beberapa versi seputar pendirian masjid tersebut.
Menurut sebuah cerita yang masyhur di masyarakat Depok, masjid ini dibangun secara tiba-tiba dengan hanya memerlukan waktu satu malam dan didirikan oleh orang-orang yang memiliki kelebihan (para Wali).
Hal itu dibuktikan dengan adanya batu yang berada di kawasan masjid Depok (sekarang berada di ruangan kedua masjid) yang menjadi tempat singgah atau bermusyawarah para Wali di tempat tersebut.
Pada bagian dalam areal masjid, terdapat dua kompleks pemakaman keluarga Lebe Tasy, salah satu pejabat Desa Depok yang terletak di bagian luar kompleks bangunan Masjid dan makam Syekh Maujud beserta pendampingnya di kompleks bagian dalam.
Menurut versi tersebut, Syekh Maujud adalah orang yang melaporkan keberadaan Nyimas Pakungwati kepada Sunan Gunung Jati dan mengamankan serta membawanya ke daerah Warugede (sekarang menjadi Desa Warujaya) sebelum diserahkan kepada Sunan Gunung Jati.
Selain versi di atas, terdapat versi lain yang menyatakan, Depok berawal dari sosok Syekh Pasiraga, salah seorang cucu dari Sunan Gunung Jati, dari ayah Pangeran Trusmi (Pangeran Sumbu Mangkurat yang menikah dengan Nyi Mas Babadan) yang ketika melihat dari kata Depok adalah penamaan dari padepokan yang menjadi tempat untuk menempa ilmu ajaran Islam dan kanuragan.
Pendirian Masjid tersebut dimungkinkan berdiri pada saat bersamaan dengan proses penyebaran agama Islam yang dilakukan Sunan Gunung Jati.
Banyaknya versi seputar pendirian Masjid Kramat Depok menjadikan sejarah pendirian dan siapa tokoh yang mendirikan masjid tersebut masih misteri. Meskipun begitu semuanya sepakat kalau Masjid Al-Karomah Depok merupakan masjid kuno yang keberadannya masih lestari hingga kini. (EM-03)