Oleh : Ahmad Farid Rivai, MPH
(Dosen S1 Administrasi Rumah Sakit, STIKes Ahmad Dahlan Cirebon)
KEMUNCULAN Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 menjadi polemik khususnya di kalangan organisasi profesi kesehatan.
Sejumlah organisasi kesehatan menolak munculnya UU tersebut karena menghapus UU yang sudah ada dan telah diperjuangkan lahirnya UU oleh pendirinya terdahulu.
Seperti pada UU Nomor 38 tahun 2014. Perawat ingin memiliki UU keperawatan sendiri sebagai bentuk perlindungan hukum bagi masyarakat dan perawat. Juga perawat tidak mau tertinggal dengan perawat di luar negeri dalam pengembangan profesionalisme keperawatan.
Secara emosional, keluarnya UU Kesehatan menimbulkan luka kekecewaan bagi perjuangan perawat dalam pengembangan profesi keperawatan, yang telah diperjuangkan lebih dari dua periodesasi, dengan effort perjuangan yang cukup besar.
Seperti halnya anak kecil yang mendapatkan mainan yang diidam-idamkan. Perasaan senang, bangga bercampur aduk. Kemudian mainan tersebut dirampas, mengakibatkan rasa marah, kecewa, dan sedih.
Apalagi setelah bersama berjuang dengan pemerintah dan mendapatkan apresiasi pemerintah dalam penanganan Covid-19. Seakan “habis manis sepah dibuang”.
Kemesraan Menteri Kesehatan dengan organisasi profesi waktu itu, terlihat di masa-masa pandemi. Hal itu sejalan dengan visi PPNI yang dicintai pemerintah, tumbuhnya rasa cinta pemerintah kepada PPNI dalam menghadapi pandemi. Sekretariat PPNI waktu itu dikunjungi oleh Kementerian Kesehatan, bahkan terlihat dalam media elektronik kemunculan Ketua Umum PPNI bersama dengan Menteri Kesehatan.
Namun, setelah munculnya rencana UU omnibus law kesehatan, muncul geliat perdebatan, hingga demo menolak UU Kesehatan hasil omnibus law.
Walaupun UU Kesehatan ini sebagai inisiatif DPR. Namun, PPNI merasakan bahwa ini adalah otak pemerintah dalam pengajuan UU Kesehatan omnibus law.
Berbagai aktivitas penolakan dilakukan, bahkan rencana untuk cuti terhadap pelayanan disampaikan dalam demonya, walaupun ini tidak terjadi dengan pertimbangan kemanusiaan.
Sampai saat ini mungkin perlawanan terhadap UU Kesehatan terus didengungkan melalui meja pengadilan di Mahkamah Konstitusi. Akankah ada perubahan terhadap pengesahan UU tersebut atau organisasi profesi menerima pengesahan UU kesehatan?
Dalam UU kesehatan pasal yang menyangkut dengan organisasi profesi hanyalah pada bagian duabelas, pasal 311. Ini pun tidak sesuai dengan harapan dari PPNI dimana dalam UU nomor 38 tahun 2014 dalam penjelasannya disebutkan bahwa pasal 41 ayat 1 Yang dimaksud dengan Organisasi Profesi Perawat adalah Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI).
Sedangkan pada UU Kesehatan nomor 17 tahun 2023 pasal 311 hurup a. tenaga medis dan tenaga kesehatan dapat membentuk organisasi profesi. Artinya organisasi profesi keperawatan tidak didominasi oleh satu organisasi profesi keperawatan saja.
Walaupun diberbagai artikel muncul permasalahan ketika organisasi profesi lebih dari satu tentang implementasi kode etik. Kode etik mana yang dipilih oleh anggota dalam penerapannya.
Organisasi profesi menghawatirkan terhadap profesionalisme dan mutu pelayanan ketika pelayanan diberikan oleh tenaga medis atau tenaga kesehatan yang tidak bisa dipantau kualitas dan pengawasannya.
Oleh karena itu, beberapa organisasi profesi mengusulkan dalam UU kesehatan untuk sertifikasi, lisensi dan akreditasi serta pendidikan berkelanjutan masih dapat dilibatkan secara aktif dalam rekomendasi.
Namun, sepertinya UU Kesehatan tidak memberikan peran kepada organisasi profesi tentang hal tersebut karena pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh pemerintah dan dibantu bersama konsil dan kolegium. Menjadi pertanyaan dalam hal ini, kenapa orgnasisi profesi tidak terlibat dalam pengawasan dan pembinaan anggotanya?
Bagaimana kehidupan berorganisasi, kalau perannya dikecilkan dalam sebuah kebijakan? Pakar Kebijakan Universitas Patimura menyampaikan dalam Rapat Kerja Nasional PPNI pada pembekalan rapat. Bahwa organisasi profesi tidak perlu berkecil hati, karena apa yang sudah dilakukan dulu masih bisa dilakukan setelah UU Kesehatan disahkan.
Pernyataan ini menjadi sebuah perdebatan mengingat tidak hanya aspek psikologis emosional tapi aspek kehidupan berorganisasi. Dari sisi kebijakan masih ada ruang terhadap keberlangsungan organisasi profesi.
Namun, apakah ini bukan merupakan kemunduran kalau struktur penetapannya lebih rendah. Mungkin ini yang menjadi pemikiran para peserta rapat kerja nasional di Ambon.
UU Kesehatan itu sendiri memuat substansi yang mendukung penyelenggaraan transformasi kesehatan.
Di antaranya: Penguatan tugas dan tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan;
Sinkronisasi pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat;
Penguatan penyelenggaraan Upaya Kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif, dengan mengedepankan hak masyarakat dan tanggung jawab pemerintah;
Penguatan pelayanan kesehatan primer dengan mengutamakan pendekatan promotif dan preventif, memberikan layanan yang berfokus ke pasien berdasarkan siklus kehidupan manusia, dan meningkatkan layanan di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan, dan kepulauan serta bagi masyarakat rentan; pemerataan fasilitas pelayanan kesehatan untuk kemudahan akses bagi masyarakat melalui pembangunan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama dan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut oleh pemerintah ataupun masyarakat;
Penyediaan tenaga medis dan tenaga kesehatan melalui peningkatan penyelenggaraan pendidikan spesialis/subspesialis, transparansi dalam proses registrasi dan perizinan, serta perbaikan dalam mekanisme penerimaan tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara Indonesia lulusan luar negeri melalui uji kompetensi yang transparan;
Penguatan peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan kesehatan;
Penguatan ketahanan kefarmasian dan alat kesehatan melalui penyelenggaraan rantai pasok dari hulu hingga hilir;
Pemanfaatan teknologi kesehatan termasuk teknologi biomedis untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan serta pelayanan kesehatan menuju pelayanan kedokteran presisi (Precision medicine);
Penguatan sistem informasi kesehatan termasuk kewenangan pemerintah untuk mengelola dan memanfaatkan data kesehatan melalui integrasi berbagai sistem informasi kesehatan ke dalam sistem informasi kesehatan nasional;
Penguatan kedaruratan kesehatan melalui perbaikan tata kelola kewaspadaan, penanggulangan, dan pasca-KLB dan wabah, termasuk pembagian peran dan koordinasi antar-pemangku kepentingan serta penguatan antisipasi kondisi darurat dengan melakukan pendaftaran, pembinaan, dan mobilisasi tenaga cadangan kesehatan;
Penguatan pendanaan kesehatan khususnya pemanfaatan pendanaan yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah melalui penyusunan alokasi anggaran berdasarkan prinsip penganggaran berbasis kinerja.
Penyelenggaraan sistem informasi pendanaan kesehatan, serta menjamin manfaat dalam program jaminan kesehatan berbasis kebutuhan dasar kesehatan;
Serta koordinasi dan sinkronisasi kebijakan di bidang Kesehatan antar-kementerian/lembaga dan pihak terkait untuk penguatan system Kesehatan.
Secara substansi isi dari UU Kesehatan tidak bisa dipungkiri, bahwa Indonesia perlu reformasi kesehatan setelah pandemi menghantam negeri ini dan juga negara lainnya.
Berkaca dari pengalaman sebagai knowledge management, maka perlu regulasi untuk menguatkan kebijakan di sektor kesehatan. Kalau saja UU Keperawatan tidak dicabut maka organisasi profesi dalam hal ini PPNI mungkin akan bahu membahu bersama pemerintah dalam penyusunan UU Kesehatan dan sebagai partner dalam implementasi kebijakan.
Sekarang PPNI harus menyesuaikan diri dan mengatasi masalah ini secara positif dan tidak membuang waktu pikiran dan tenaganya. Maka apa yang harus dilakukan ke depannya? Ke depan organisasi profesi perlu mengawal keberlanjutan UU kesehatan terlepas dari kontroversi.
Suka atau tidak, UU tersebut telah disahkan dan diimplementasikan sejalan pengesahannya tanggal 8 agustus 2023. Agar UU membumi dalam implementasinya perlu mengawal praktisi tentang proses yang terkait, supaya bisa diimplementasikan secara tepat, perlu paradigma Knowledge Transpormation (KT) yaitu paradigma untuk memecahkan masalah, terutama dalam penyusunan peraturan turunannya yang diamanatkan harus selesai 1 tahun setelah diundangkan.
Organisasi profesi perlu melakukan kajian kebijakan terhadap UU atau turunannya dengan pendekatan evidence based policy. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengumpulkan data-data untuk mengidentifikasi masalah publik. Pada akhirnya melakukan advokasi kebijakan agar kebijakan tersebut tepat dalam implementasinya.
Peran organisasi ini penting untuk memengaruhi pemerintah sebagai policymaker sesuai dengan apa yang kita harapkan ketimbang melakukan konfrontasi kebijakan yang sudah diundangkan.***