CIREBON, (ETNOLOGIMEDIA.COM)- Angka kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan dinilai masih tinggi. Otoritas terkait melalui pencatatan dan pelaporan pada sistem informasi online perlindungan perempuan dan anak (Simfoni PPA) merilis jumlah kasus pada tahun 2022 di Kabupaten Cirebon terdapat 101 korban kekerasan. Sedangkan dari bulan Januari-Agustus tahun 2023 terdapat sebanyak 79 korban.
Atas kondisi itu, Wakil Bupati Cirebon, Wahyu Tjiptaningsih, menerangkan, perlu adanya penanganan yang komperhensif agar bisa dilakukan pencegahan sedari dini. Hal itu diungkapkan Ayu sapaan akrab Wabup, saat menghadiri kegiatan rapat koordinasi stakeholder terkait layanan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Cirebon di Ruang Paseban, Setda Kabupaten Cirebon, Kamis (21/9/2023).
Kegiatan tersebut merupakan bukti konsistensi partisipasi dalam penyelenggaraan perlindungan perempuan dan anak di Kabupaten Cirebon.
“Seiring dengan meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang cukup mengkhawatirkan. Maka diperlukan bentuk layanan yang cekatan (cepat, akurat, komprehensif dan terintegrasi), serta menggunakan pendekatan dan berorientasi pada pemenuhan hak-hak perempuan dan anak korban kekerasan atas pelayanan yang harus diberikan oleh negara sesuai enam fungsi layanan pada Permen PPA Nomor 2 Tahun 2022,” kata Ayu.
Dikatakannya, dalam upaya peningkatan pelayanan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Cirebon, memerlukan perlindungan khusus, serta mengupayakan dilaksanakannya sinergi dan koordinasi antar lintas sektoral.
Hal ini dilaksanakan guna memenuhi kebutuhan korban untuk mendapatkan layanan yang komprehensif, baik perlindungan, mengakses keadilan melalui penegakan hukum, hingga bisa pulih kembali.
“Perlu koordinasi lintas sektoral, baik dari kepolisian, jaksa, hakim dan juga dinas pengampu urusan perempuan dan anak. Maka, perlu berkoordinasi untuk dapat menyamakan persepsi dan saling membantu jika mengalami kesulitan dalam penanganan kasus,” jelas Ayu.
Ia juga mengajak untuk selalu memperkuat sistem penanganan dari hulu ke hilir dengan mengkampanyekan “dare to speak up”, agar para korban kekerasan berani untuk melaporkan segala bentuk kekerasan yang dialami, maupun yang dilihat demi mewujudkan kondisi “zero telorance against violence” pada tahun 2030.
Pemkab Cirebon sudah menerbitkan beberapa kebijakan terkait pelayanan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, diantaranya Perda Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perlindungan, Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Perda Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan.
Kemudian Perbup Nomor 59 Tahun 2009 tentang Pembentukan P2TP2A Kabupaten Cirebon.
Selanjutnya, Perbup Nomor 34 Tahun 2007 tentang Rencana Aksi Daerah Pencegahan dan Perlindungan terhadap Praktik Perdagangan Perempuan dan Anak di Kabupaten Cirebon dan Perbup Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan pada Usia Anak.
“Kemudian, Keputusan Bupati Cirebon Nomor 463/kep.1238-dp2kbp3a/2017 tentang Susunan Keanggotaan Tim Gugus Tugas Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Sumber Kasih Sayang Kabupaten Cirebon,” lanjutnya.
“Keputusan Bupati Cirebon Nomor 463kep.1196-dppkbp3a/2017 tentang Pembentukan Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) Kabupaten Cirebon. Keputusan Bupati Cirebon Nomor 479.3/kep.496-kesra/ 2020 tentang Pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kabupaten Cirebon periode 2020-2025. Dan masih banyak lagi,” imbuhnya.
Ayu menambahkan, dengan adanya kegiatan rakor ini diharapkan memperkuat koordinasi antar pemangku kebijakan dan acuan dalam pemetaan dukungan pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Sekaligus mendorong penguatan program dan kebijakan dalam upaya penanganan yang komprehensif penanganan kekerasan di Kabupaten Cirebon.
Sementara, Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan pada Kementerian PPPA RI, Eni Widiyanti, mengatakan, dari 8,2 juta perempuan yang menjadi korban kekerasan, ternyata yang melapor hanya 11 ribu.
Ini berdasarkan data seluruh Indonesia, artinya ini menjadi bentuk keprihatinan semua, supaya kebijakan dilakukan oleh pemerintah daerah.
“73 persen kekerasan itu terjadi di rumah, yakni KDRT. 56 persen pelakunya adalah suami. Istri ada, tapi sedikit,” katanya.
Pihaknya menerapkan, kementerian mempunya 6 fungsi layanan, diantaranya pengaduan masyarakat, penjangkauan korban, pengelolaan kasus, penampungan sementara, mediasi dan pendampingan korban.
“Oleh karena itu, semua harus bergandengan untuk menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan,” pungkasnya.***