CIREBON, (ETNOLOGIMEDIA.COM)- Musim kemarau yang diharapkan menjadi berkah bagi petambak garam di Desa Rawaurip, Kecamatan Pangeran, Kabupaten Cirebon, justru membawa kesulitan.
Meskipun saat ini adalah panen raya, para petambak menghadapi penurunan harga garam yang signifikan.
Sejak Juni 2024, harga garam di tingkat petambak terus merosot, dimulai dari Rp 800 per kilogram.
Kemudian turun menjadi Rp 700, Rp 600, dan kini mencapai Rp 400 per kilogram saat panen raya.
Wawan (49 tahun), salah seorang petambak, mengungkapkan kekecewaannya atas kondisi panen yang seharusnya menjadi harapan.
“Harganya terus menurun, sekarang hanya Rp 400 per kilogram dan informasi mengatakan akan turun lagi. Petambak garam cirebon tentu dihadapkan kondisi dilematis,” ungkap Wawan.
Selain harga yang terus merosot, petambak juga harus menanggung biaya tambahan untuk membayar upah pocok.
Yakni tenaga yang membantu memindahkan garam dari lahan ke tempat penimbangan.
“Biaya harus dikeluarkan dengan membayar upah pocok bervariasi antara Rp 6.000 hingga Rp 7.000 per karung, tergantung jarak. Dan ini tentunya harus dikeluarkan yang memakan ongkos tidak sedikit,” katanya.
Senada, Sulaeman (41 tahun), petambak lainnya. Ia mengatakan bahwa para tengkulak pihak yang menentukan harga memiliki kontrol besar atas harga garam. “Kami terpaksa menjual ke tengkulak karena mereka yang menentukan harga,” katanya.
Menurut data dari Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan (DKPP) Kabupaten Cirebon, luas lahan garam yang dikelola di daerah tersebut mencapai 1.557,75 hektare dari total potensi 3.140,00 hektare.
Meskipun produksi garam di Cirebon cukup besar, petambak sering kali tidak merasakan manfaat dari harga garam yang adil.
Sementara itu, pemerintah belum menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk garam, yang menyebabkan harga terus ditentukan oleh tengkulak. Akibatnya, petambak garam di Cirebon belum pernah merasakan harga yang menguntungkan di tengah panen raya mereka.***