CIREBON, (ETNOLOGIMEDIA.COM)- Hamparan pohon mangrove tumbuh subur membentang di atas lahan sekira 43 hektare dan panjang 5 kilometer membuat rimbun kawasan pesisir laut pantai utara jawa (Pantura) Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
Warga setempat menamakan kawasan itu dengan sebutan “Taman Mangrove Panglaot” yang terletak pada posisi administrasi meliputi lima desa (Pasindangan, Jadimulya, Klayan, Jatimerta dan Kalisapu) di Kecamatan Gunungjati, Kabupaten Cirebon.
Jika masuk lebih ke dalam kawasan, pengunjung bakal disambut hembusan angin bercampur gemuruh air gelombang laut yang menambah kesejukan areal taman mangrove dan tentunya membuat betah untuk berlama-lama.
Meskipun sudah bisa diakses dengan kendaraan roda dua. Namun, jika baru pertama kali menuju ke area utama taman mangrove tersebut agak sedikit sulit ditempuh. Dengan mengandalkan bantuan aplikasi google maps, cukup bisa membantu. Teknologi penuntun arah itu hanya memandu sampai bagian luar kawasan, lantaran terhalang perumahan dan sejumlah empang milik warga.
Paling efektif yakni dengan menanyakan ke warga setempat yang nantinya bisa langung ditujukan ke lokasi. Beda halnya jika menggunakan kendaraan roda empat atau mobil, yang hanya bisa disimpan menitipkan pada lahan kosong pemukiman warga, lalu berjalan kaki ke lokasi dengan jarak sekira 500 meteran.
“Motornya dibawa saja, lokasi Taman Mangrove Panglaot 500 meter dari sini. Ikuti saja jalan gang Perumahan Danendra, nanti melewati empang. Di sana ada kelompok pengelola, temui saja,” kata Santosa, warga setempat sambil menunjukan arah lokasi hutan mangrove kepada etnologimedia.com, Senin (9/9/2024).
Setelah sampai di lokasi, kondisi yang ada berbanding terbalik dengan cuaca wilayah Cirebon dengan suhu udara sekira mencapai 31 derajat celcius setiap harinya di musim panas. Untuk posisi utama kawasan hutan mangrove yang ideal untuk dijadikan spot eduwisata maupun ekowisata berada di wilayah Desa Jadimulya.
Di sana dapat menyaksikan langsung suasana takjub kawasan perpaduan unsur alam dan buatan manusia. Dengan berjalan di atas jalur trap yang terbuat dari kayu dan bambu berbentuk labirin, bisa untuk mengelilingi keindahan hutan kawasan mangrove dengan pesona keindahan yang tersedia.
Kelestarian ratusan ribu batang pohon mangrove dari berbagai jenis itu tidak serta merta tumbuh dengan sendirinya. Melainkan hasil penanaman para aktivis lingkungan yang dilakukan sejak belasan tahun lalu. Mereka bekerjasama dengan berbagai elemen termasuk andilnya PT Pertamina EP Zona 7, Jatibarang, Indramayu. Dengan konsisten mereka terus merawat agar kelestarian ekosistem laut dan darat tetap terjaga demi keberlangsungan hidup mahluk hidup disekitar kawasan hingga saat ini.
Hutan Mangrove Panglaot
Pengelola Taman Mangrove Panglaot, Fachrudin, sekaligus dipercaya sebagai Ketua Kelompok Program Jawara (Jaga Wana Rahayu) PT Pertamina EP Zona 7, Jatibarang menyampaikan beragam cerita dalam proses awal penanaman, perawatan hingga penjagaan kawasan agar tetap lestari.
Dengan keindahan kondisi hutan mangrove yang terlihat saat ini, kata Fachrudin, tentunya jauh berbeda pada awal dilakukan penanaman. Bersama puluhan orang yang terlibat dalam komunitasnya, penanaman dimulai sejak 2011 silam. Meski dihadapkan berbagai permasalahan dan kendala dalam proses yang tidak mudah, namun sudah bisa dirasakan hasilnya oleh masyarakat luas.
“Kondisi sekarang bisa disebut tinggal memetik dan merawat hasilnya. Beda halnya waktu awal yang penuh perjuangan saat menanam di 2011 silam. Banyak lika-liku kendala baik faktor manusia hingga alam yang harus dihadapi,” kata Fahrudin, saat berdiskusi dengan awak media dan Tim Commrel PT Pertamina EP Zona 7 di lokasi.
Fachrudin menceritakan, faktor alam menjadi tantangan terberat dihadapi dalam melakukan awal penanaman. Seperti derasnya arus ombak ke arah pantai yang bisa menghancurkan bibit pohon mangrove yang baru ditanam.
Ditambah labilnya konstruksi areal pantai yang didominasi lumpur hingga kedalaman mencapai 1,5 meter. Selain itu, faktor kesadaran manusia dan kemaunan menjaga lingkungan berpengaruh besar atas keberlangsungan tanaman mangrove yang ada.
Oleh karenanya, dibutuhkan keahlian khusus mulai dari penentuan lokasi tanam hingga pemilahan jenis mangrove yang ideal pada kawasan lahan. Dengan teknik dan pengalaman tersebut, Ia meyakini kualitas dan ketahanan bibit pohon mangrove bisa bertahan dan meminimalisasi kerusakan.
“Sebenarnya sebelum 2011 sudah ada yang mencoba menanam mangrove disini. Mungkin karena kurangnya pengalaman dan ilmu yang memadai sehingga hasilnya kurang optimal. Buktinya bibit mangrove minim tumbuh terutama banyak hancur diterjang ombak,” kata dia.
Atas kondisi itu, berbekal pengalaman dan keilmuan yang dimiliki ditambah kemauan kuat dirinya mencoba mengajak warga setempat untuk turut terlibat secara sukarela. Diawali dengan komitmen tinggi ditambah pembekalan materi dan praktek dalam naungan kelembagaan komunitas kecil berbasis sosial terbentuk hingga saat ini.
Seiring berjalannya waktu, kata Fahcrudin, dari tahun ke tahun perjuangan pun menuai hasil. Banyak pihak tertarik untuk bergabung dan bersama-sama berkontribusi dalam menjaga kelestarian alam.
Mulai dari tingkat kementerian terkait, pemerintahan provinsi hingga level daerah tingkat kota/kabupaten turut andil terlibat. Bahkan pihak kelembagaan pendidikan, akademisi, sosial, aktivis lingkungan hingga swasta pun minat untuk terlibat meski hanya sebatas projek tentatif.
Lantas, Ia menerangkan, jika kondisi saat disebut keberhasilan maka yang paling berjasa adalah yang terlibat sesuai kompetensi dan kapasitas masing-masing. Ia pun tak menampik keterlibatan berbagai pihak termasuk PT Pertamina sangat membantu dalam proses menjaga ekosistem lingkungan.
Keberadaan ratusan ribu pohon mangrove yang tumbuh di kawasan ini bukanlah hasil usaha yang mudah. Penanaman mangrove dimulai lebih dari satu dekade lalu, dengan dukungan PT Pertamina EP Zona 7 Jatibarang, Indramayu, bersama berbagai pihak.
“Dulu, kondisi hutan mangrove sangat berbeda. Namun, berkat kerja keras dan dedikasi, hasilnya kini bisa dinikmati oleh masyarakat,” kata Fachrudin.
Fachrudin mengungkapkan bahwa tantangan terbesar adalah arus ombak yang kuat dan kondisi pantai yang labil, yang dapat merusak bibit mangrove. Namun, dengan keahlian dan pengalaman, mereka berhasil memilih lokasi dan jenis pohon mangrove yang sesuai, sehingga kualitas dan ketahanan bibit meningkat.
“Awalnya, banyak yang mencoba menanam mangrove di sini, namun hasilnya kurang optimal. Dengan pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki, kami melibatkan warga setempat dan membentuk komunitas untuk memastikan keberhasilan proyek ini,” tambahnya.
Program Jawara Pertamina
Program Jawara (Jaga Wana Rahayu) yang dijalankan oleh PT Pertamina EP Zona 7 Jatibarang sejak 2021 berfokus pada pelestarian hutan mangrove. Dalam program ini, sebanyak 36.021 bibit pohon mangrove dari berbagai jenis telah ditanam di kawasan pesisir Cirebon yakni di hutan mangrove panglaot. Kerusakan hutan mangrove, yang disebabkan oleh pembangunan, abrasi pantai, dan sampah, memotivasi upaya program tersebut.
Head of Commrel and CID-CSR Zona 7 Jatibarang, Wazirul Luthfi menyampaikan bahwa Program Jawara sangat relevan untuk menjaga kelestarian hutan mangrove.
“Kami berkomitmen untuk mendukung dan berkolaborasi dengan komunitas Taman Mangrove Panglaot. Program ini melibatkan berbagai aspek, mulai dari penanaman bibit hingga pengembangan ekonomi dan pendidikan ekosistem,” ujarnya.
Community Relations Officer, Winar Nur Aisyah Fatimah dan Dede Darmawan menerangkan, program Jawara (Jaga Wana Rahayu) atau yang bermakna menjaga kelestarian hutan, sangat relevan.
Ia menjelaskan, Program Jawara mencakup sejumlah inisiatif. Diantaranya KENARI (Keanekaragaman Wana Lestari) yang menawarkan ekowisata mangrove, penanaman bibit, dan inovasi pemecah gelombang. Kemuduian ELANG (Ekonomi Berkelanjutan dan Menguntungkan) yakni mengembangkan batik mangrove, produk olahan, dan kerajinan tangan. Serta PIPIT (Pendidikan Ekosistem Pesisir Terpadu), yang memperkenalkan ekosistem mangrove melalui edukasi dan kurikulum.
Ia menambahkan, kerusakan dan degradasi hutan mangrove dikarenakan berbagai faktor. Dari lingkungan semisal tekanan pembangunan. Berdasarekan data yang dimiliki, kawasan Cirebon yang hanya memiliki mangrove seluas 1.780 hektar dengan kondisi rusak 480 hektar. Bahkan, lebih dari 70 persen garis pantai pesisir Cirebon tergerus abrasi dengan rerata 1 meter per tahun.
Juga akibat peningkatan volume sampah yang terjebak di wilayah hutan mangrove. Serta minimnya pemecah gelombang alami dan berkurangnya keanekaragaman hayati laut pesisir Cirebon.
“Pengembangan hutan mangrove diawali di Desa Klayan dan Desa Jadimulya. Area ini terdampak abrasi lahan hutan Mangrove kurang lebih 20 hektare. Adapun untuk jenis Mangrove yang ditanam meliputi Avicennia spp, Rhizopora, sp, Bruguiera sp. Dengan kolaborasi, Mangrove Panglaot diharapkan dapat terus berkembang dan menjadi contoh sukses pelestarian lingkungan di Indonesia,”ungkapnya.*** (Mamat Rahmat-Etnologimedia).