Oleh: Jeremy Huang Wijaya (Pengamat Budaya Tionghoa Cirebon)
TAHUN ini, kalender Tionghoa memasuki Tahun Ular Kayu, yang memadukan simbol ular dengan elemen kayu.
Secara filosofis, elemen kayu mencerminkan kehidupan, pertumbuhan, dan fleksibilitas, tetapi juga rentan terhadap ancaman dari elemen lainnya seperti air, api, dan angin.
Hal ini relevan dalam konteks bencana alam yang belakangan sering terjadi, khususnya bencana hidrometeorologi.
Bencana Hidrometeorologi yang Menghantui
Dalam beberapa pekan terakhir, media ramai memberitakan bencana hidrometeorologi, yakni bencana yang dipicu oleh curah hujan ekstrem.
Longsor, banjir akibat tanggul jebol, hingga angin kencang adalah beberapa contoh nyata dampaknya.
Pola ini sebenarnya berulang setiap tahun, terutama pada musim hujan yang berlangsung dari November hingga Maret. Namun, tahun ini, intensitasnya tampak lebih mengkhawatirkan.
Menurut catatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), curah hujan yang tinggi di berbagai wilayah Indonesia tidak hanya menyebabkan kerusakan lingkungan.
Akan tetapi juga mengancam infrastruktur dan keselamatan warga. Sayangnya, kesiapan pemerintah daerah dalam menghadapi cuaca ekstrem masih tergolong minim, sehingga risiko kerugian semakin meningkat.
Unsur Kayu: Antara Kesuburan dan Kerentanan
Dalam perspektif elemen kayu, tahun ini menjadi simbol dualitas. Air, misalnya, dapat menyuburkan kayu, tetapi juga mampu menghancurkannya melalui banjir dan erosi. Angin kencang, sementara itu, dapat merobohkan pohon-pohon besar, menciptakan longsor atau kerusakan lingkungan lainnya.
Tidak hanya itu, api seperti dari aktivitas gunung berapi dapat membakar dan memusnahkan vegetasi secara masif.
BMKG juga memperingatkan lonjakan aktivitas seismik di tahun 2024, dengan mencatat 29.869 gempa bumi sepanjang tahun.
Zona seismic gap seperti di Selatan Banten, Selat Sunda, dan Mentawai-Siberut telah lama menjadi wilayah yang rawan gempa besar.
Aktivitas vulkanik turut menjadi ancaman tambahan, dengan potensi erupsi dari tiga hingga empat gunung berapi. Unsur api yang terkandung dalam gunung ini menambah kompleksitas risiko bencana di Tahun Ular Kayu.
Tantangan di Musim Kemarau
Setelah musim hujan berlalu, tantangan baru muncul pada musim kemarau dari April hingga Oktober.
Musim ini sering kali diiringi kekeringan panjang akibat minimnya pasokan air. Elemen kayu, yang secara alamiah membutuhkan air untuk bertahan hidup, menjadi simbol kerapuhan selama musim kemarau.
Dampak terburuk dari kekeringan adalah gagal panen, yang berujung pada ancaman krisis pangan dan paceklik.
Mitigasi dan Kesiapan Teknologi
Menghadapi siklus bencana tahunan ini, persiapan mitigasi bencana menjadi sangat krusial.
Pemerintah, masyarakat, dan pihak terkait perlu bersinergi untuk meningkatkan kesadaran serta memperkuat teknologi mitigasi, seperti sistem peringatan dini gempa bumi dan tsunami, hingga infrastruktur yang tahan bencana.
Langkah-langkah tersebut harus diprioritaskan, terutama di daerah rawan seperti zona seismic gap dan wilayah dengan risiko tinggi bencana hidrometeorologi.
Berdoa dan Berbagi
Di tengah ancaman bencana, elemen spiritual juga tidak boleh diabaikan. Tahun Ular Kayu memberikan pelajaran penting tentang keharmonisan dengan alam.
Selain upaya mitigasi teknis, penting bagi kita untuk memperbanyak doa dan berbagi dengan sesama, terutama mereka yang terdampak bencana.
Dengan demikian, kita tidak hanya menghadapi tantangan alam dengan kesiapan fisik, tetapi juga dengan ketenangan batin.
Sebagai refleksi, Tahun Ular Kayu adalah pengingat bahwa keseimbangan antara elemen-elemen alam harus dijaga. Kita harus senantiasa waspada, bekerja sama, dan memperkuat solidaritas dalam menghadapi setiap tantangan.***