RIAU, (ETNOLOGIMEDIA.COM)- Rangkaian Hari Pers Nasional (HPN) 2025, Panitia HPN Riau menggelar “Sarasehan Nasional Media Massa bertajuk Preservasi Jurnalisme Sebagai Pilar Demokrasi Digital”.
Acara ini menjadi wadah refleksi atas masa depan jurnalisme di tengah disrupsi digital yang kian masif.
Diskusi ini menghadirkan tokoh-tokoh penting dalam dunia pers Indonesia, seperti Agus Sudibyo (Ketua Dewan Pengawas TVRI), Nurjaman Mochtar (Sekretaris Dewan Pakar PWI Pusat), Dhimam Abror (Ketua Dewan Pakar PWI Pusat), serta Hilman Hidayat (Ketua PWI Jawa Barat).
Diskusi dipandu oleh Djoko Tetuko, Ketua Dewan Kehormatan PWI Jawa Timur, dan dihadiri oleh sejumlah tokoh pers nasional lainnya.
Ancaman Siber dan Masa Depan Jurnalisme Digital
Ketua PWI Jawa Barat, Hilman Hidayat, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap gelombang serangan siber yang semakin meningkat terhadap media daring.
“Saat ini, banyak media online yang menjadi target serangan digital dari berbagai pihak yang tidak terduga. Data yang saya kumpulkan menunjukkan bahwa situasi ini semakin suram,” ujar Hilman.
Hilman menyebut bahwa sekitar 40 ribu konten kreator dan wartawan memproduksi 15 ribu berita per hari, namun banyak di antaranya menjadi sasaran peretasan. Bahkan, dalam sebulan, ribuan berita di-hack, dan serangan terhadap media bisa mencapai ratusan kasus.
Menurutnya, ancaman ini bukan hanya soal keamanan digital, tetapi juga merusak marwah jurnalisme yang mengedepankan informasi berbasis data dan fakta.
Dominasi Iklan Digital: Media Nasional Terpinggirkan?
Agus Sudibyo, mantan anggota Dewan Pers, mengungkap data mengejutkan tentang belanja iklan Indonesia 2024, yang diperkirakan mencapai Rp 107,291 triliun. Dari jumlah tersebut, 44,1% dialokasikan untuk iklan digital. Sementara media online hanya mendapat 17,3%, televisi 15,5%, media sosial 11,6% dan media cetak 4,3%.
“Yang mengkhawatirkan, sekitar 75–80% belanja iklan digital nasional dikuasai oleh Google dan Facebook. Sementara media nasional hanya kebagian sisa,”ujar Agus.
Fenomena ini mempertegas bagaimana platform digital semakin mendominasi ekosistem media.
Membuat media arus utama kesulitan mendapatkan pendapatan yang layak. Namun, di sisi lain, Agus menegaskan bahwa masyarakat tetap membutuhkan informasi berkualitas dan bertanggung jawab.
Tentunya sesuatu yang tidak dapat sepenuhnya disediakan oleh media sosial.
Era AI: Jurnalis Hanya Verifikator?
Nurjaman Mochtar menyoroti pergeseran besar dalam lanskap jurnalisme akibat kemajuan kecerdasan buatan (AI).
Saat ini, 80% sumber berita konvensional berasal dari media sosial, dan instansi kini mampu membuat kontennya sendiri dengan AI.
“Ke depan, jangan-jangan peran utama media arus utama hanya sebagai verifikator konten dan bertanggung jawab kepada Dewan Pers,” ungkap Nurjaman.
Hal ini menuntut wartawan untuk semakin kritis dan adaptif terhadap perubahan teknologi.
Jika tidak, media arus utama bisa kehilangan peran strategisnya dalam lanskap informasi.
Jurnalisme dan Demokrasi: Bertahan di Tengah Gelombang Digitalisasi
Ketua Dewan Pakar PWI Pusat, Dhimam Abror, menegaskan bahwa preservasi jurnalisme adalah kunci untuk memperkuat demokrasi.
Di era digital, partisipasi masyarakat dalam ruang demokrasi semakin luas, namun tantangan untuk menjaga kualitas dan akurasi informasi juga semakin besar.
“Ruang digital memungkinkan masyarakat berpikir lebih kritis terhadap isu-isu politik, tetapi kita harus memastikan informasi yang beredar tetap berkualitas,”kata Dhimam.
Menurutnya, meski media baru yang lebih interaktif semakin berkembang, prinsip independensi, akuntabilitas, dan keberagaman tetap harus dijaga agar jurnalisme tetap menjadi pilar demokrasi yang kokoh.
Masa Depan Jurnalisme: Beradaptasi atau Punah?
HPN 2025 di Riau menjadi cerminan bagaimana industri media saat ini berada di persimpangan jalan.
Di satu sisi, disrupsi digital, dominasi platform global, dan ancaman AI menghadirkan tantangan besar.
Di sisi lain, permintaan akan jurnalisme yang kredibel dan bertanggung jawab justru semakin tinggi.
Para narasumber sepakat bahwa masa depan jurnalisme bergantung pada kemampuan adaptasi media dalam menghadapi perubahan teknologi.
Tanpa mengorbankan prinsip dasar jurnalistik.
Seperti disampaikan Agus Sudibyo, digitalisasi adalah fenomena global, dan media nasional harus mencari model bisnis yang lebih inovatif agar tetap relevan di era dominasi platform digital.
“Jika media tidak segera beradaptasi dengan perubahan ini, bukan tidak mungkin kita akan menyaksikan jurnalisme tradisional perlahan punah,”* pungkasnya.***