CIREBON, (ETNOLOGIMEDIA.COM)- Program Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon (Cyber Islamic University/CIU) menggelar Forum Group Discussion (FGD) bertajuk “Revisi KUHAP: Sejauh Mana KUHAP Menjawab Tantangan Hukum Pidana Modern”, di Auditorium Pascasarjana lantai III,Rabu (26/2/2025).
Diskusi tersebut menghadirkan para akademisi dan praktisi hukum yang membahas secara kritis Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang tengah dibahas di DPR RI.

Kritik dan Rekomendasi Akademisi
Dalam forum tersebut, berbagai kritik dan rekomendasi disampaikan oleh para narasumber.Termasuk Prof. Dr. H. Sugianto, S.H., M.H., Dr. H. Dudung Hidayat, S.H., M.H., Dr. H. Rusman, S.H., M.H., Dr. H. Hermanto, S.H., M.H., dan Dr. H. Edy Setyawan, Lc., M.A.
Wakil Rektor II UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, Prof. Dr. H. Jamali, M.Ag.,dalam sambutannya menegaskan bahwa revisi KUHAP harus mengakomodasi kepentingan masyarakat luas.
Hal itu sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Ia juga menyoroti pentingnya keterlibatan akademisi, aparat penegak hukum (APH), dan elemen masyarakat lainnya dalam penyusunan regulasi hukum.
Melalui FGD ini, UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon berkomitmen untuk terus berkontribusi dalam kajian hukum nasional.
“Serta mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses legislasi yang berdampak luas bagi bangsa dan negara,” terangnya.
Menurut Prof. Sugianto, revisi KUHAP harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan.Termasuk akademisi, NGO, aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan), serta masyarakat sipil.
“KUHAP adalah dasar sistem peradilan pidana di Indonesia. Revisi ini tidak boleh dilakukan secara terburu-buru tanpa kajian akademis yang matang,” ujarnya.
Sementara itu, Dr. Dudung Hidayat, menekankan pentingnya kejelasan dalam aturan penyelidikan. Agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang oleh penyidik.
Kritik serupa disampaikan oleh Dr. Rusman, yang menyoroti beberapa pasal dalam RKUHAP yang dinilai kurang transparan.
Bahkan, kata dia, bisa berpotensi menimbulkan kesewenangan dalam proses hukum.
Pentingnya Konsep Restorative Justice Dalam forum ini, para akademisi juga menekankan pentingnya memasukkan konsep Restorative Justice dalam RKUHAP.
Menurut Dr. Hermanto, sistem hukum pidana modern seharusnya tidak hanya berorientasi pada penghukuman.
Akan tetapi juga memberikan ruang bagi penyelesaian perkara yang lebih humanis, terutama dalam kasus-kasus ringan.
“Restorative Justice, kata dia, bisa menjadi solusi dalam penyelesaian perkara pidana yang tidak selalu harus berakhir di meja hijau.
“Jika diterapkan dengan baik, pendekatan ini dapat mengurangi beban lembaga peradilan dan memperkuat harmoni sosial,” ujar Hermanto.
Revisi KUHAP Terburu-buru?
Sejumlah narasumber juga mengkritik proses revisi yang dianggap terlalu cepat. Prof. Sugianto menyebut bahwa rencana pengesahan RKUHAP pada 21 Maret 2025 ini akan berisiko.
Bahkan bisa menghasilkan produk hukum yang tidak sempurna dan berpotensi menimbulkan permasalahan di kemudian hari.
“Revisi ini harus dilakukan secara hati-hati, dengan mempertimbangkan berbagai aspek hukum dan sosial. Kalau dipaksakan, justru bisa menjadi masalah baru bagi sistem peradilan pidana kita,” tegasnya.***