CIREBON, (ETNOLOGIMEDIA.COM)- Ratusan warga Desa Sampiran, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon, menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor balai desa setempat, Rabu (9/4/2025).
Mereka menuntut agar Kuwu (Kepala Desa) Sujito, mundur dari jabatannya karena dianggap tidak memiliki empati terhadap warganya.
Khususnya saat terjadi kasus keracunan massal usai kegiatan tahlilan beberapa waktu lalu.
Koordinator aksi, Kodim, menyampaikan bahwa kekecewaan warga dipicu oleh sikap Kuwu yang dinilai lamban dan tidak tanggap.
Menurutnya, korban keracunan mencapai 138 orang, satu di antaranya meninggal dunia. Namun Kuwu baru menunjukkan kehadirannya dua hari setelah kejadian.
“Tidak ada kepedulian dari Kuwu. Dua hari setelah kejadian baru datang ke rumah duka. Telat,” ujarnya.
Kodim menambahkan, warga merasa ditinggalkan dalam menghadapi musibah tersebut.
Banyak korban yang harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit selama berhari-hari tanpa dukungan memadai dari pemerintah desa.
Tak hanya soal musibah, warga juga menyoroti buruknya tata kelola pemerintahan desa.
Idris, warga lainnya, menyebut selama tiga tahun terakhir tidak ada perubahan berarti di Desa Sampiran.
“Jalan rusak tak kunjung diperbaiki, bangunan mangkrak dibiarkan. Pemerintah desa seperti tidak hadir untuk warganya,” tegas Idris.
Ia juga menyoroti lemahnya transparansi dalam pengelolaan keuangan desa, mulai dari Dana Desa (DD), Alokasi Dana Desa (ADD), hingga Pendapatan Asli Desa (PAD).
“Kami tidak tahu kemana dana itu dialokasikan. Sudah tiga tahun ini tidak ada perubahan signifikan,” katanya.
“Bahkan untuk perbaikan jalan, warga harus patungan. Padahal itu seharusnya tanggung jawab pemerintah desa,” tambahnya.
Menanggapi aksi tersebut, Kuwu Sujito menyatakan bahwa insiden keracunan tersebut adalah musibah yang tidak disengaja.
Ia juga menolak tuduhan bahwa dirinya tidak peduli.
“Kalau dianggap kurang peduli, itu di luar dugaan. Kami sudah minta maaf. Musibah itu tidak direncanakan,” katanya.
Terkait tudingan tidak adanya transparansi anggaran, Sujito menegaskan semua proses dilakukan terbuka.
Menurutnya, pembangunan fisik dan sosial dilakukan setiap tahun.
“Bantuan untuk guru ngaji, guru TK, imam masjid tetap kami salurkan sesuai kemampuan keuangan desa. Warga yang mengkritik mungkin tidak mengetahui semua program itu,” ujarnya.
Ia juga menyebutkan beberapa program seperti irigasi, SPAL, dan betonisasi jalan telah berjalan.
Namun, ia memahami jika tuntutan warga dipicu oleh emosi.
“Kalau mereka menuntut saya mundur, itu karena sedang marah. Tapi semuanya ada aturannya. Saya dipilih oleh masyarakat, punya SK resmi,” tegasnya.
Aksi unjuk rasa sempat memanas hingga terjadi dorong-dorongan.
Warga memaksa masuk ke kantor desa dan menyebabkan jendela rusak.
Sekretaris Camat Talun, Agus Alamsyah, turun tangan untuk meredam situasi.
Ia berjanji akan mencarikan solusi atas permasalahan yang dihadapi warga.
“Kami hadir untuk mencari titik temu. Mohon bersabar, kami minta waktu,” katanya.***