Penulis: Inggy Ummu Farabi
KECURANGAN Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) selalu ada. Setelah tahun lalu peserta digantikan joki yang membawa perangkat kamera, tahun 2025 ini kecurangan dengan memanfaatkan teknologi punya modus baru.
Panitia menemukan adanya penyelundupan alat perekam dalam bentuk kamera kecil yang tersembunyi di behel gigi, kuku, ikat pinggang, dan bahkan kancing baju.
Senada dengan kecurangan UTBK, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam acara peluncuran Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan baru-baru ini mengungkapkan skor SPI turun dari tahun sebelumnya dan berada di level atau posisi koreksi yakni 69,50.
Bahkan terdapat beberapa temuan terkait kondisi integritas pendidikan di sekolah dan kampus Indonesia, di antaranya: 78 persen sekolah dan 98 persen kampus dengan kasus menyontek, kasus plagiarisme pada guru/dosen, tingkat prosentase keterlambatan yang tinggi pada guru maupun dosen, serta temuan gratifikasi yang dianggap sebagai hal yang wajar untuk diterima saat hari raya maupun saat kenaikan kelas.
Angka bayaran yang diterima joki UTBK pun sangat besar untuk membantu proses pelajar dapat diterima di universitas pilihannya. Sehingga dari besarnya nominal angka tersebut, publik jadi bertanya-tanya, tujuan apa yang hendak diraih si pelajar curang tersebut dengan mengorbankan modal kecurangan yang amat besar. Padahal manusia diciptakan dengan berbagai macam potensi dan ciri khasnya. Potensi yang diberikan kepada manusia hanyalah untuk memaksimalkan pengabdiannya Kepada Allah.
Modus kecurangan UTBK menggambarkan buruknya kualitas akhlak generasi negeri ini. Begitupun rendahnya integritas dalam dunia pendidikan yang semakin mengukuhkan kegagalan sistem pendidikan negeri ini dalam mewujudkan generasi berkepribadian Islam yang memiliki keterampilan. Karena yang menjadi orientasi pelajar adalah hasil, tetapi tidak memperhatikan pada halal dan haram prosesnya. Begitupun amanah dalam mengajar, tanggung jawab kepada profesinya, utamanya tanggung jawab terhadap Allah tampak terabaikan.
Hal ini tentu tidak lepas dari buah penghidupan dalam sistem kapitalisme. Sistem yang menjadikan tujuan hidup pada pemenuhan materi semata. Pendidikan hanya dianggap sebagai alat yang digunakan demi meraih kesuksesan materi. Terlebih lagi biaya pendidikan kini makin tinggi, sejalan dengan biaya pokok kebutuhan hidup yang tak mau kalah merangkak naik, serta masifnya pemutusan hubungan kerja (PHK) di mana-mana.
Sementara pendidikan dianggap modal utama pembentuk keterampilan, rakyat pun seolah memaksa diri melakukan proses yang haram sekalipun. Kerusakan demi kerusakan sistem kapitalisme membuat rakyat sulit dalam memenuhi kebutuhan hidup, juga membentuk masyarakat yang menjadikan materi sebagai standar hidup, bukan ridho Allah atau pahala sebagaimana konsep yang terdapat dalam sistem Islam. Standar kapitalisme ini semakin menjauhkan masyarakat dari keimanan.
Sementara negara seharusnya menjaga rakyatnya agar terikat pada aturan Allah. Negara juga tidak boleh membiarkan biaya pendidikan kian tinggi, karena negara yang seharusnya paling tahu bahwa generasi berpendidikan akan memengaruhi negara itu sendiri. Lebih jauh lagi negara pun harus turut memastikan kewajiban rakyat dalam menuntut ilmu dipenuhi. Sebagaimana perintah Allah yang disampaikan dalam hadits :
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Artinya: “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Muslim)
Sistem pendidikan yang dipilih pun adalah sistem pendidikan yang berazas akidah Islam yang akan mencetak generasi unggul berkepribadian Islam, terikat pada syariat Allah, memiliki ketrampilan yang handal, dan menjadi agen perubahan.
Dengan kuatnya kepribadian Islam, kemajuan teknologi pun akan dimanfaatkan di jalan kebaikan, sesuai dengan tuntunan Allah, dan untuk meninggikan kalimat Allah.
Syaikh Atha bin Khalil dalam bukunya yang berjudul “Strategi Pendidikan Negara Islam” menyatakan bahwa dalam sistem pendidikan Islam, anak didik dalam jenjang sekolah akan dididik dengan keterampilan dan pengetahuan agar dapat berinteraksi dengan lingkungan yang berupa peralatan, inovasi dan berbagai bidang terapan lainnya, seperti penggunaan peralatan listrik dan elektronika, peralatan pertanian, industri dan lain-lain.
Sementara jenjang pendidikan tinggi, penanaman dan pendalaman kepribadian Islam secara intensif agar kualitas kepribadian mahasiswa perguruan tinggi dapat meningkat dan diharapkan terlahirnya calon-calon pemimpin yang memantau permasalahan-permasalahan krusial rakyat. Termasuk di dalamnya adalah kemampuan untuk mengatasinya.
Maka, pentingnya saat ini kaum muslimin harus mengupayakan perbaikan. Agar generasi memahami tujuan hidup manusia yang sesungguhnya, serta senantiasa mempertimbangkan segala perbuatan berdasarkan ketentuan yang Allah ridhoi. Juga memahami standar perbuatan terbaik dalam Islam.
Hal tersebut dapat diwujudkan dengan mengkaji Islam dengan intensif dan menyeluruh. Sehingga diharapkan generasi ke depannya akan paham bahwa pendidikan bukanlah alat untuk meraih materi semata, melainkan untuk meraih ridho Allah, serta cara-cara yang digunakan haruslah benar yakni sesuai dengan syariat Islam. Wallahualam bishshowwab.***