CIREBON, (ETNOLOGIMEDIA)- Penetapan AR sebagai tersangka dalam kasus longsor tambang galian C di Gunung Kuda, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, menuai protes dari tim kuasa hukumnya.
Mereka menyebut langkah Polresta Cirebon sebagai keputusan yang tergesa-gesa dan tidak berdasar hukum.
Kuasa hukum AR, Fery Ramadhan, menilai penetapan kliennya sebagai tersangka didasari pada informasi yang keliru dan tidak memperhatikan fakta hukum.
“AR sudah tidak menjabat sebagai Kepala Teknik Tambang (KTT) sejak November 2022. Saat kejadian longsor pada 31 Mei 2025, dia sudah tidak memiliki kewenangan apapun di lokasi tambang,” jelas Fery dalam konferensi pers, yang digelar di salah satu rumah makan, Kecamatan Dukupuntang, Rabu (18/6/2025).
Ia menyebutkan, penetapan AR sebagai tersangka dituangkan dalam Surat Nomor: S.Tap.Tsk/66/V/RES.1.24/2025/Satreskrim.
Pihak penyidik menduga adanya kelalaian hingga menyebabkan kecelakaan kerja yang menewaskan lebih dari 20 orang.
Namun Fery menilai, tanggung jawab pidana seharusnya tidak dialamatkan pada AR.
Menurutnya, masa jabatan KTT berdasarkan ketentuan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) hanya berlaku selama satu tahun dan tidak otomatis diperpanjang.
“Sejak masa jabatan itu berakhir, AR tidak lagi aktif maupun terlibat dalam operasional tambang. Ia tidak memberikan perintah kerja, tidak mengatur alat berat, dan tidak menentukan jadwal operasional,” tambahnya.
Fery juga mengungkap, faktanya bahwAR bukan lulusan teknik pertambangan dan belum pernah lulus uji kompetensi sebagai KTT.
“Bagaimana mungkin seseorang yang secara legal maupun teknis tidak memenuhi syarat bisa diminta pertanggungjawaban pidana?” tegasnya.
Pihaknya juga mendesak agar penyidikan dilakukan secara menyeluruh, transparan, dan melibatkan audit teknis dari instansi terkait seperti Dinas ESDM.
“Kami sedang mempertimbangkan langkah hukum lanjutan untuk melawan penetapan ini,” ujar Fery.
Jeritan Hati Istri Tersangka
Di tempat yang sama, istri AR, Sinta, angkat bicara. Dengan suara terbata-bata, ia menyampaikan keresahannya atas nasib sang suami dan keluarga kecil mereka.
“Suami saya sudah empat kali mengajukan pengunduran diri. Terakhir sebelum Lebaran Idul Fitri kemarin. Tapi semuanya ditolak. Dia malah dipaksa tetap bekerja di sana,” ungkap Sinta.
Ia mengatakan bahwa AR merasa tidak nyaman karena tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan penting di lapangan.
Bahkan, menurut pengakuan AR, ada pihak lain yang mengatur jalannya tambang.
“Dia bilang, kalau dia keluar, operasional berhenti. Itu sebabnya dia terus dipaksa bertahan meski tak punya wewenang,” ucapnya.
Sinta kini harus mengurus tiga anak, termasuk bayi berusia enam bulan, di tengah ketidakpastian proses hukum terhadap suaminya.
“Saya hanya ingin keadilan ditegakkan. Jangan sampai suami saya dikorbankan untuk menutupi kesalahan sistem yang lebih besar,” harapnya.***