Jalur Tambang Rusak Jalan Desa, Polisi Tegaskan Aturan Lalu Lintas Galian

Penutupan tambang galian c di Desa Cupang, Kecamatan Gempol, warga ngadu ke Pemkab Cirebon dalam audiensi di gedung Setda, Jumat (11/7/2025)./* (foto: M. Rahmat) 

CIREBON, (ETNOLOGIMEDIA)- Penutupan sejumlah titik tambang di Desa Cupang, Kecamatan Gempol, Kabupaten Cirebon, akibat persoalan perizinan, memicu keresahan masyarakat.

Warga yang kehilangan mata pencaharian kini mendesak adanya solusi jangka pendek dan jangka panjang dari pemerintah.

Puluhan warga yang difasilitasi perangkat desa menggelar audiensi dengan Pemerintah Kabupaten Cirebon di gedung Setda, Jumat (11/7/2025).

Rapat dipimpin Wakil Bupati Cirebon, Agus Kurniawan Budiman, melibatkan sejumlah instansi seperti Perhutani, Kepolisian, serta perwakilan masyarakat dan elemen lainnya.

Dalam audiensi tersebut, Jigus menjelaskan bahwa penutupan tambang merujuk pada Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 11 Tahun 2025 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan.

Aturan ini mempertegas perlindungan kawasan hutan dari kegiatan eksploitasi tanpa izin yang sah.

“Penutupan ini terkait aspek hukum dan konservasi lingkungan. Kawasan hutan harus dijaga sesuai peruntukannya,” tegas Agus.

Agus memaparkan dua pendekatan solusi. Jangka pendek, masyarakat diminta memanfaatkan hutan produksi melalui mekanisme tumpang sari atau *tanaman cepat panen.

Mekanisme ini akan difasilitasi melalui koordinasi LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) bersama Perhutani.

Sementara solusi jangka panjang, kawasan hutan diusulkan bisa dikembangkan menjadi zona pariwisata berbasis alam dan konservasi, agar tetap memberi manfaat ekonomi bagi warga sekitar.

“Intinya, belum bisa dibuka karena sudah ada police line. Pemda akan berkoordinasi lebih lanjut dengan Pemprov Jabar dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” ujar Agus.

Perwakilan warga, Eko Lana, menuturkan bahwa sebelum tahun 2014, program tumpang sari berjalan baik. Dari hasil panen pohon petai dan nangka, masyarakat memperoleh penghasilan harian yang mencukupi.

“Dulu panen petai bisa 1.000 buah, nangka setiap hari ada. Tapi sejak 2014, saat ada program penebangan jati, masyarakat terkunci tidak bisa lagi mengelola lahan,” katanya.

Ia berharap pemerintah mengembalikan akses masyarakat untuk bercocok tanam di sekitar kawasan Perhutani.

Asisten Perhutani BKPH Ciwaringin, Rahmat, menjelaskan bahwa kawasan tambang yang ditutup masuk wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Majalengka, dan segala urusan perizinan menjadi kewenangan KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan).

Rahmat menyebut, berdasarkan Rencana Pengelolaan Hutan (RPKH), kawasan telah dibagi menjadi zona perlindungan, pemanfaatan, dan pengembangan lain. Saat ini ada tanaman kehutanan seperti pohon Korea yang masa kerja samanya sekitar 20 tahun dan bisa dikerjasamakan kembali.

“Kami akan bantu carikan lokasi yang memungkinkan untuk bisa dikelola masyarakat melalui kerja sama,” kata Rahmat.

Kapolsek Gempol, Kompol Rynaldi Nurwan, menyatakan bahwa di Desa Cupang terdapat empat lokasi tambang, yakni Gunung Wintu (PT An Nahl), Gunung Leneng, Gunung Picung, dan Gunung Hanjuang (PT KWS). Semua aktivitas dihentikan karena belum memiliki izin resmi.

Ia menekankan bahwa membuka garis polisi tanpa izin merupakan pelanggaran hukum. Sebagaimana diatur dalam UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, terutama Pasal 58 yang menyangkut sanksi pidana dan denda bagi pelanggar izin.

“Warga dan pengelola harus diedukasi bahwa izin tambang berasal dari pusat. Jika suatu saat izin keluar, semua proses harus mematuhi aturan termasuk jalur angkutan agar tidak merusak infrastruktur desa tetangga,” tegasnya.

Kapolsek juga menyoroti laporan warga Desa Walahar, yang terdampak oleh lalu lintas truk tambang yang menggunakan jalan desa dengan kapasitas terbatas.

“Akses jalan disana (desa Walahar) kecil, hanya masuk satu arah kendaraan. Warga ada yang laporan, mobil pengangkut material tambang lewat sana, ini menyalahi aturan,” kata Kapolsek.

Kuwu atau Kepala Desa Cupang, Karji, menyatakan harapannya agar hasil audiensi ini menghasilkan jalan keluar konkret.

Ia menilai masyarakat Desa Cupang sangat bergantung pada aktivitas di kawasan hutan.

“Dulu belum ada investor batu, masyarakat bisa hidup dari lahan Perhutani. Sekarang dengan aturan baru, kami minta masyarakat bisa diberi ruang untuk program ketahanan pangan,” ujarnya.

Karji juga mengingatkan bahwa jika persoalan ini tidak ditangani secara bijak, bisa memunculkan konflik sosial di tengah masyarakat.

“Kami dihadapkan posisi watha terpecah antara kelompok pro dan kontra tambang. Ini harus segera ada solusi, agar bisa menjelaskan kepada masyarakat secara utuh,” ungkapnya.***