CIREBON, (ETNOLOGIMEDIA)- Kericuhan besar yang pecah pada 30 Agustus di Kabupaten Cirebon meninggalkan jejak kerusakan dan pertanyaan serius tentang pola penanganan aksi massa.
Peristiwa itu dipicu unjuk rasa ribuan driver ojek online, mahasiswa, hingga pelajar yang menuntut pengusutan kematian Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojol yang tewas dalam bentrok di Jakarta.
Aksi yang semula terpusat di jalur Pantura Pasar Plered Cirebon, berujung pada blokade jalan utama Jawa Barat–Jawa Tengah hingga lumpuh total.
Massa kemudian bergerak ke Mapolresta Cirebon, di mana bentrok dengan aparat pecah setelah terjadi lemparan batu dan bambu yang dibalas dengan gas air mata.
Namun kemarahan tak berhenti di sana. Massa beralih menuju Kantor DPRD Kabupaten Cirebon yang minim penjagaan.
Gedung wakil rakyat itu luluh lantak. Fasilitas dirusak, sejumlah ruangan dibakar, hingga barang-barang dijarah.
Api sempat membakar sebagian gedung sebelum akhirnya dipadamkan petugas damkar.
Peristiwa ini memperlihatkan betapa rentannya stabilitas keamanan ketika gelombang demonstrasi meluas tanpa pengendalian.
Ribuan orang terlibat, sementara aparat tampak kewalahan.
Hanya sejumlah personel TNI yang berjaga di sekitar gedung dewan, jumlahnya tak sebanding dengan massa yang bertindak anarkis.
Hingga kini, pihak berwenang belum merilis data resmi terkait korban luka maupun total kerugian.
Namun, yang jelas, peristiwa ini menyisakan trauma bagi warga sekitar sekaligus menandai eskalasi konflik sosial di Cirebon.
Pertanyaan besar yang muncul pasca-kericuhan adalah bagaimana pemerintah daerah, aparat keamanan, dan elemen masyarakat mampu mencegah agar situasi serupa tidak terulang.
Peristiwa ini juga menjadi alarm tentang perlunya jalur komunikasi publik yang lebih terbuka, agar kemarahan massa tidak kembali bermuara pada tindakan destruktif.***