ETNOLOGIMEDIA- Swamedikasi atau pengobatan mandiri bukanlah hal baru dalam masyarakat kita.
Ketika sakit kepala, demam, atau batuk, langkah paling lazim yang dilakukan adalah membeli obat di warung, apotek, atau bahkan menggunakan stok obat yang tersisa di rumah. Praktik ini dianggap cepat, mudah, dan murah.
Namun, tahukah kita bahwa 66 persen orang Indonesia melakukan swamedikasi sebagai usaha pertama ketika sakit, dan lebih dari 80 persen masyarakat dunia pun menempuh cara serupa? Ironisnya, tanpa pengetahuan yang cukup, swamedikasi seringkali justru membuka pintu kesalahan.
Mulai dari memilih obat yang tidak sesuai, mengonsumsi dosis berlebihan, hingga menggunakan cara yang keliru. Semua ini bisa berujung pada cedera serius, kerusakan organ, bahkan kematian.
Dalam kasus anak-anak, risiko ini menjadi lebih besar. Demam, misalnya, adalah keluhan paling umum yang dialami. Tercatat 15–25 persen anak yang datang ke layanan kesehatan mengeluhkan demam.
Obat pilihan yang paling sering dipakai masyarakat adalah parasetamol. Padahal, penggunaan parasetamol yang tidak sesuai aturan dapat memicu kerusakan fungsi hati dan menghambat perkembangan otak anak.
Kita tentu sadar, kualitas kesehatan anak hari ini menentukan kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa depan.
Karena itulah, langkah Fakultas Ilmu Kesehatan (FIKES) Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC) melalui implementasi “Gerakan Sadar Obat Rasional* (SABAR) di Desa Gegesik Wetan, Kabupaten Cirebon, menjadi angin segar.
Program Pengabdian Kepada Masyarakat ini digagas lewat hibah Pemberdayaan Kemitraan Masyarakat dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Kegiatan yang berlangsung sepanjang 5–24 Juli 2025 ini melibatkan 25 kader PKK Desa Gegesik Wetan. Mereka tak hanya diajak mendengarkan sosialisasi, tetapi juga aktif berlatih langsung melalui metode demonstrasi, simulasi, hingga penggunaan alat peraga.
Kepala Desa Gegesik Wetan, Abdul Ghofari, S.IP, bersama Ketua PKK desa setempat, Elidawati Sembiring, menyambut kegiatan ini dengan antusias. “Pengetahuan dan keterampilan terkait obat rasional sangat penting, apalagi bagi kader PKK yang bersentuhan langsung dengan masyarakat,” ujar Elidawati.
Program ini dipimpin oleh Apt. Fitri Alfiani, S.Farm., MKM, seorang apoteker yang memberi materi mengenai pentingnya kesadaran obat rasional.
Fitri menjelaskan, melalui SABAR, kader PKK kini lebih paham bagaimana memilih obat sesuai indikasi, menentukan dosis yang tepat, menyimpan obat dengan benar, hingga memahami kapan swamedikasi boleh dilakukan dan kapan harus segera mencari pertolongan medis.
Tidak berhenti di situ, kegiatan ini juga melibatkan akademisi lintas disiplin. Ari Yulistianingsih, S.Gz., M.Gz, ahli gizi, memberikan pemahaman tentang pentingnya kebutuhan gizi anak terutama ketika sakit.
“Kegiatan ini dapat terselenggara atas bantuan Hibah PKM dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Teknisnya melalui skema pemberdayaan berbasis masyarakat dengan ruang lingkup Pemberdayaan Kemitraan Masyarakat (0070/C3/AL.04/2025),” ungkapnya.
Sementara itu, Ito Wardin, M.Kep., Ners, perawat berpengalaman, memandu simulasi penggunaan obat demam anak dengan berbagai metode: oral, topikal, hingga rektal.
Keterlibatan mahasiswa juga menjadi bagian penting dari program ini. Dua mahasiswa berprestasi, Alizha dan Zahra dari Program Studi S1 Ilmu Keperawatan, ikut serta mendampingi kader PKK dalam praktik lapangan.
Mereka mendapat kesempatan mengaplikasikan ilmu yang diperoleh di kelas, sekaligus belajar langsung menghadapi realitas sosial di masyarakat.
Inilah yang membuat program SABAR memiliki makna ganda. Bagi masyarakat desa, ini adalah bentuk nyata kepedulian akademisi untuk menghadirkan solusi kesehatan yang sederhana namun vital.
Bagi dunia kampus, ini adalah ruang belajar sekaligus laboratorium sosial bagi mahasiswa agar kelak mereka menjadi tenaga kesehatan yang tidak hanya pintar secara akademik, tetapi juga peka terhadap kebutuhan masyarakat.
Gerakan SABAR adalah contoh kecil dari sinergi yang besar. Ia melibatkan pemerintah desa, kader PKK, akademisi, tenaga kesehatan, hingga mahasiswa.
Sinergi inilah yang pada akhirnya melahirkan gerakan kolektif untuk menekan risiko kesalahan obat sekaligus meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.
Ke depan, gerakan seperti SABAR sebaiknya tidak berhenti di satu desa. Ia harus menjadi kebiasaan kolektif yang meluas ke seluruh pelosok. Sebab, menjaga kesehatan masyarakat bukan hanya urusan rumah sakit atau dokter.
Ia adalah tanggung jawab bersama, mulai dari rumah tangga, organisasi masyarakat, hingga dunia pendidikan.
Ketika masyarakat sadar obat, maka masyarakat pun sadar kesehatan. Dan ketika kesehatan terjaga, masa depan bangsa pun ikut terjamin.
Karena kesehatan sejatinya bukan sekadar urusan hari ini, melainkan investasi untuk generasi yang akan datang.***









