CIREBON, (ETNOLOGIMEDIA)- Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Selly Andriany Gantina, menegaskan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana haji nasional yang kini mencapai Rp171 triliun.
Hal tersebut disampaikan dalam kegiatan “Forum Keuangan Haji” yang digelar bersama Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) di salah satu hotel Kota Cirebon, Kamis (16/10/2025).
Dengan mengusung tema “Forum Keuangan Haji, Membangun Kepercayaan, Menguatkan Transparansi,” kegiatan ini dihadiri ratusan peserta yang terdiri dari wartawan, akademisi, serta para Pendamping Keluarga Harapan (PKH) dari wilayah Kota dan Kabupaten Cirebon.
Dalam forum tersebut, DPR RI dan BPKH berkomitmen membuka ruang dialog publik agar masyarakat memahami arah pengelolaan keuangan haji dan potensi manfaatnya bagi jamaah.
“Kami ingin masyarakat tahu bahwa dana haji dikelola secara transparan, akuntabel, dan berbasis prinsip syariah. BPKH terus berupaya agar nilai manfaat dari pengelolaan dana ini benar-benar dirasakan oleh jamaah,” ujar Selly.
Politisi asal daerah pemilihan (Dapil) Cirebon-Indramayu ini menjelaskan, pengelolaan dana haji diatur dalam *Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 yang menekankan prinsip prudent management (pengelolaan secara hati-hati).
Dana tersebut ditempatkan pada instrumen keuangan syariah seperti deposito, sukuk, dan investasi halal lainnya.
Menurut Selly, transparansi BPKH menjadi kunci menjaga kepercayaan publik.
“Masyarakat berhak tahu ke mana dana itu dikelola dan bagaimana manfaatnya kembali kepada jamaah. Termasuk dalam bentuk subsidi BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji),”tambahnya.
Selly juga menyoroti kebijakan baru Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi yang menyesuaikan kuota haji berdasarkan lama daftar tunggu (waiting list) di tiap provinsi.
Kebijakan ini berdampak pada pengurangan kuota di beberapa daerah, termasuk Jawa Barat.
“Dampaknya, Jawa Barat kehilangan sekitar 9.000 kuota jamaah haji. Tapi secara prinsip keadilan nasional, sistem ini membuat masa tunggu di seluruh provinsi menjadi setara, sekitar 26 tahun,” jelasnya.
Selly menambahkan, kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari evaluasi yang dilakukan BPKP dan KPK, yang sebelumnya menilai adanya ketimpangan distribusi kuota antarprovinsi.
Ia berharap, sistem baru ini menciptakan tata kelola yang lebih adil, terbuka, dan efisien.
Di sisi lain, Selly mengungkapkan bahwa pembahasan BPIH tahun 2026 akan dimulai pekan depan di DPR RI, meskipun masa reses masih berlangsung.
“Kami akan segera membahas bersama pemerintah agar proses pelunasan biaya haji tidak tertunda,” ujarnya.
Ia menuturkan, beberapa komponen biaya seperti akomodasi, transportasi udara, dan konsumsi berpotensi mengalami penurunan.
Menurut informasi dari Kementerian Haji dan Umrah, terdapat pengurangan biaya mashair (akomodasi Arafah-Mina) sekitar 200 riyal, yang diharapkan dapat menekan total BPIH 2026.
Sementara itu, Staf Ahli Evaluasi Kebijakan BPKH, Zulhendra, menegaskan bahwa seluruh keuntungan hasil investasi dana haji dikembalikan untuk kepentingan jamaah.
“Hasil pengelolaan dana haji tahun 2024 mencapai Rp11 triliun dan tahun 2025 diproyeksikan mencapai Rp12 triliun. Pembagian manfaatnya akan dibahas bersama Komisi VIII DPR RI, termasuk proporsinya untuk subsidi BPIH, biaya operasional, dan saldo virtual account jamaah,” jelasnya.
Zulhendra menambahkan, BPKH berperan menjaga dana jamaah tetap aman sekaligus produktif.
“Kami tidak hanya menyimpan uang, tetapi juga memastikan dana itu memberikan nilai manfaat secara berkelanjutan dengan prinsip syariah dan kehati-hatian,” tandasnya.***