CIREBON, (ETNOLOGIMEDIA.COM).- Program Studi DIII Gizi Cirebon, Politeknik Kesehatan Tasikmalaya mengelar kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) berupa edukasi kesehatan reproduksi tentang bahaya pernikahan dini.
Dalam rilis yang diterima redaksi, kegiatan yang digelar di SMAN 8 Kota Cirebon pada 13 Agustus 2025 lalu, melibatkan guru BK, guru PMR dan guru mata pelajaran biologi serta 44 siswa siswi SMAN 8 Kota Cirebon.

Sesudah kegiatan pengabdian masyarakat ini terdapat peningkatan baik pengetahuan maupun sikap pada siswa/siswi terhadap adanya bahaya dari suatu pernikahan dini.
Menurut Ketua Pelaksana kegiatan tersebut, Diyah Sri Yuhandini, S.SiT, SKM, MPd, dirinya datang bersama dengan timnya untuk memberikan sosialisasi tentang edukasi kesehatan reproduksi tentang bahaya pernikahan dini.
“Tim kami melakukan pengabdian kepada masyarakat ini agar generasi muda kita lebih paham soal kesehatan reproduksi tentang bahaya pernikahan dini. Alhamdulillah respon puluhan peserta sangat bagus dan mereka antusias mengikutinya,” ujarnya.
Diyah menambahkan, pihaknya ingin berperan serta untuk membantu program pemerintah dalam menurunkan angka kejadian pernikahan dini pada anak khususnya di Kota Cirebon melalui pengabdian kepada masyarakat.

Sementara itu, Guru BK SMAN 8 Kota Cirebon, Yeti Nurhayati S.Pd., mengaku, sosialiasi ini memberikan banyak wawasan yang lebih baginya, bagi guru dan pembina PMR.
“Materi yang disampaikan, khususnya mengenai bahaya pernikahan dini, kesehatan reproduksi, dan peran pendidik sebaya, sangat relevan dengan kondisi siswa saat ini. Harapan besar saya, melalui sosialisasi seperti ini, kasus pernikahan dini di kalangan remaja terutama di lingkungan sekolah ini dapat berkurang, sehingga mereka dapat lebih fokus menuntut ilmu, mengembangkan diri, dan mempersiapkan masa depan yang lebih baik,” ungkapnya.
Dalam sosialisasi tersebut, usia ideal untuk melakukan perkawinan versi BKKBN adalah minimal 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki.
Batasan usia ini dianggap sudah siap, baik dipandang dari sisi kesehatan maupun perkembangan emosional untuk menghadapi kehidupan berkeluarga. Namun, pada kenyataannya masih ada masyarakat yang melakukan pernikahan pada usia dini di bawah 21 tahun khususnya perempuan.
Dampak perkawinan/pernikahan dini menurut Direktorat Bina Ketahanan Remaja, salah satunya adalah dampak kesehatan yaitu memiliki kecenderungan yang tinggi untuk melahirkan anak yang stunting, dimana makin muda usia ibu saat melahirkan, makin besar kemungkinannya untuk melahirkan anak yang stunting.
Selain itu, kegiatan tersebut juga menjelaskan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Seiring dengan perubahan fisik dimulai juga proses perkembangan psikologisnya. Remaja secara kematangan organ reproduksi sebagian sudah bisa berfungsi dan bereproduksi. Namun, secara sosial, mental dan emosi mereka belum dewasa. Mereka akan banyak mengalami masalah apabila pendidikan dan pengarahan seksualitas dan reproduksi mereka terabaikan.
Kurangnya pengetahuan remaja mengenai pernikahan dini memberikan risiko 2,3 kali lebih besar untuk melakukan pernikahan pada usia di bawah 20 tahun, dibandingkan remaja yang memiliki pengetahuan baik.
Berbagai upaya pembinaan ketahanan remaja yang dikembangkan dalam rangka meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku positif remaja tentang kesehatan reproduksi serta penyiapan kehidupan berkeluarga.
Pembinaan ketahanan remaja dilaksanakan melalui pendekatan langsung kepada remaja. Promosi kesehatan merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menyampaikan informasi kesehatan kepada remaja, sehingga meningkatkan pengetahuan yang akhirnya diharapkan dapat merubah sikap dan perilakunya ke arah positif atau mendukung terhadap kesehatan.(Rilis)