DATA Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2024 mencatat, 53 persen perempuan Indonesia usia 25–49 tahun bekerja.
Di Jawa Barat, angka partisipasi kerja perempuan mencapai 51 persen. Fakta ini menunjukkan semakin besar peran ganda ibu, yakni sebagai pencari nafkah sekaligus pengasuh anak.
Sementara itu, data BKKBN 2023 mengungkapkan, 68 persen anak usia dini masih diasuh oleh keluarga besar tanpa standar pengasuhan yang jelas.
Menyikapi fenomena ini, PT PLN Indonesia Power (PLN IP) bersama BKKBN Jawa Barat menggagas program sosial Tamasya (Taman Asuh Sayang Anak) di TPA Tadika Gemilang, Garut.
Program ini bertujuan mendukung terwujudnya generasi emas Indonesia melalui layanan pengasuhan anak usia dini yang mencakup aspek fisik, kognitif, emosional, sosial, hingga spiritual.
Direktur Utama PLN Indonesia Power, Bernadus Sudarmanta, menyebutkan bahwa kolaborasi pemerintah, swasta, dan masyarakat diharapkan mampu menciptakan lingkungan kerja ramah keluarga sekaligus menopang lahirnya generasi emas (JawaPos.com, 21/8/2025).
Program Tambal Sulam
Meski demikian, program pragmatis semacam ini kerap dianggap hanya solusi jangka pendek. Dalam kerangka kapitalisme, kebijakan tersebut lebih banyak dimaknai sebagai upaya menyiapkan generasi pekerja baru guna menopang kepentingan kapitalis global, ketimbang benar-benar mempersiapkan generasi emas.
Kapitalisme justru mendorong perempuan mengambil peran ganda yang bukan kewajibannya. Di satu sisi, mereka tetap menjadi pengurus rumah tangga, di sisi lain dituntut menjadi pencari nafkah.
Tekanan ekonomi, maraknya PHK, dan kebutuhan hidup yang semakin berat membuat banyak ibu harus bekerja di luar rumah. Dampaknya, tanggung jawab utama dalam mendidik anak dan mengelola rumah tangga kerap terbengkalai.
Situasi ini tak jarang menimbulkan masalah serius: anak kurang mendapat perhatian, tumbuh tanpa arahan, hingga hubungan rumah tangga retak dan berujung perceraian.
Lebih jauh, kondisi tersebut berimplikasi pada penurunan kualitas sumber daya manusia. Bukan hanya dari sisi kecerdasan atau fisik, melainkan terutama lemahnya karakter dan kepribadian generasi.
Padahal, anak sangat membutuhkan teladan, terutama dari ibunya. Jika ibu terlalu sibuk mengejar materi dan mengabaikan peran mendasar sebagai pendidik generasi, masa depan bangsa pun terancam.
Kapitalisme yang Materialistik
Kebijakan yang lebih menekankan kontribusi ekonomi perempuan ketimbang perannya sebagai pendidik generasi mencerminkan betapa kapitalisme memandang keberhasilan hanya dari aspek materi.
Sistem ini lahir dari pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), sehingga orientasinya bersifat materialistis.
Akibatnya, peran ibu yang strategis sebagai pengasuh dan pencetak generasi tereduksi menjadi sekadar penyumbang devisa. Anak pun sering terabaikan haknya, kurang kasih sayang, hingga berisiko terjerumus pada pergaulan bebas, kriminalitas, atau perilaku destruktif lainnya.
Peran Mulia Ibu dalam Islam
Islam menempatkan ibu pada posisi yang sangat mulia, yakni sebagai pendidik utama generasi. Sejarah menunjukkan, banyak tokoh besar lahir berkat kesabaran dan pengasuhan seorang ibu. Salah satunya Imam Syafi’i, yang tumbuh menjadi ulama besar karena perhatian dan doa ibunya.
Dalam pandangan Islam, ibu boleh bekerja, namun tidak diwajibkan. Kewajiban mencari nafkah berada di pundak suami, agar ibu dapat fokus mengurus anak dan mengelola rumah tangga.
Kesejahteraan masyarakat semestinya ditopang oleh pengelolaan negara melalui Baitulmal, baik dari kekayaan negara (jizyah, kharaj, fa’i, ghanimah, harta tak bertuan), maupun kekayaan umum berupa sumber daya alam seperti api, tanah, dan air.
Dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh, peran ibu dapat kembali pada fitrahnya: mendidik generasi dan mengatur rumah tangga, tanpa terbebani kewajiban mencari nafkah. Wallahu a’lam bish-shawab.***