FENOMENA judi online kini menjelma menjadi masalah sosial yang semakin kompleks. Para pelakunya merambah pada sejumlah kalangan, termasuk masyarakat umum yang terpapar iming-iming keuntungan instan.
Layaknya candu, praktik ini merusak mental, menggerus ekonomi keluarga, hingga memicu tindak kriminal. Laporan terbaru Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menempatkan Jawa Barat sebagai provinsi dengan aktivitas judi online tertinggi di Indonesia sepanjang 2024.
Total frekuensi transaksi mencapai 44 juta kali, melibatkan 2,6 juta pemain, dengan nilai deposit Rp5,9 triliun. Kawasan suburban seperti Bekasi, Depok, dan Bogor tercatat sebagai kantong pemain terbesar.
Dampak Sosial dan Kriminalitas Meningkat
PPATK menegaskan bahwa judi online menjadi salah satu pendorong naiknya angka kriminalitas. Banyak pelaku nekat mencuri, menipu, bahkan melakukan kekerasan demi memperoleh uang untuk bermain kembali. Kasus tragis di Sukajadi, Bandung.Di mana penjaga konter ponsel dibunuh demi melunasi utang judi online, menunjukkan betapa gelapnya spiral kecanduan ini.
Pemblokiran Tak Cukup, Akar Masalah Belum Tersentuh
Hingga kini, ribuan situs dan rekening terkait judi online sudah diblokir. Namun langkah tersebut belum memberi hasil signifikan. Banyak situs kembali bermunculan, sementara akses mudah ditembus melalui VPN.
Persoalannya bukan sebatas teknis, tetapi menyangkut cara pandang masyarakat terhadap kehidupan. Di tengah arus gaya hidup materialistis, sebagian orang menganggap judi sekadar hiburan atau “peluang cepat kaya”.
Bandar pun memanfaatkan celahini dengan membalut permainan haram dalam kemasan hadiah dan bonus.Dalam situasi di mana ukuran tindakan sering dikaitkan dengan manfaat materi semata, masyarakat menjadi rentan terhadap perilaku berisiko.
Lonjakan 2,6 juta pemain hanya di Jawa Barat menunjukkan betapa kuat pengaruh lingkungan sosial dan tekanan ekonomi dalam mendorong seseorang terjerumus.
Membangun Ketahanan Moral dan Sistemik
Masalah judi online tidak bisa diatasi hanya dengan memblokir situs. Upaya pemberantasan harus menyentuh aspek hukum, sosial, dan nilai kehidupan.
Perspektif Islam dalam hal ini menawarkan pendekatan yang melihat perjudian bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga penyakit moral yang merusak tatanan masyarakat.
Al-Qur’an melalui QS Al-Maidah: 90 , telah menegaskan bahwa perjudian adalah perbuatan kotor yang harus dijauhi. Negara, masyarakat, dan keluarga memiliki peran untuk menutup ruang yang memungkinkan praktik ini tumbuh, mulai dari tekanan ekonomi hingga gaya hidup konsumtif.
Dalam kerangka itu, terdapat sejumlah langkah strategis:
1. Pendidikan nilai sejak dini, yang membentuk pola pikir dan karakter anti-perilaku destruktif.
2. Menghapus akses dan konten yang mendorong perilaku berjudi, baik situs maupun iklan terselubung.
3. Menghidupkan budaya amar makruf nahi mungkar sebagai kontrol sosial yang sehat.
4. Penegakan hukum yang tegas dan konsisten terhadap penyedia maupun pemain, dengan pendekatan sanksi yang memberikan efek jera.
5. Menjamin kesejahteraan masyarakat, sehingga tekanan ekonomi tidak menjadi alasan seseorang terjerumus dalam perjudian.
Langkah-langkah tersebut harus berjalan bersamaan dalam sebuah sistem yang konsisten menempatkan moralitas dan kesejahteraan publik sebagai tujuan utama.
Maraknya judi online adalah alarm bagi kita semua. Bukan hanya persoalan teknologi, tetapi soal arah kehidupan masyarakat. Tanpa pembenahan sistem nilai dan ketegasan negara, praktik ini akan terus mencari celah, merusak generasi, dan menggerus fondasi keluarga.
Dengan membangun masyarakat yang berpegang pada prinsip-prinsip moral dan nilai keagamaan, ditopang oleh kebijakan negara yang tegas dan berpihak pada kebaikan publik, perjudian dapat diberantas hingga ke akar-akarnya.
*Wallahu a’lam.*









